Krisis
Ilmu dan Akhlak Pada Anak Sekolah Dasar
(SD) Akibat Pembelajaran Daring: Fakta atau Mitos?
Oleh: Ika Sumiati
Sudah
hampir 2 tahun lebih sejak awal Maret 2019, Indonesia masih di hadapkan dengan
permasalahan covid-19. Berbagai sektor mengalami dampaknya terutama sektor
pendidikan. Berdasarkan peraturan pemerintah, proses pembelajaran di semua
sekolah dilakukan secara daring.
Sekolah
daring memang menjadi solusi dalam mengantisipasi penyebaran covid-19, namun
disamping itu apakah proses pembelajaran yang dilakukan efektif? Mengenai efektifitas ada beberapa faktor yang menjadi tolak ukur dalam
memutuskan proses pembelajaran itu efektif; Pertama, teknologi. Guru atau siswa harus memiliki setidaknya
handphone
untuk melakukan proses pembelajaran dan
jaringan internet
yang stabil.
Kedua, karakteristik
guru. Pengajar memainkan peran sentral dalam
efektivitas pembelajaran secara daring, bukan sebuah teknologi yang penting
tetapi penerapan instruksional teknologi dari pengajar yang menentukan efek
pada pembelajaran. Ketiga, karakteristik
siswa. Leidner
mengungkapkan bahwa siswa yang tidak memiliki keterampilan dasar dan disiplin
diri yang tinggi dapat melakukan pembelajaran yang lebih baik dengan metode
yang disampaikan secara konvensional, sedangkan siswa yang cerdas serta
memiliki disiplin serta kepercayaan diri yang tinggi akan mampu untuk melakukan
pembelajaran dengan metode daring.
Berbicara
mengenai fakta, tingkat efektifitas pembelajaran hanya sebesar 66,7%. Faktor penyebab kurangnya efektifitas
pembelajaran adalah koneksi internet dan biaya kuota, tidak semua guru maupun siswa memiliki akses internet
yang bagus. Guru yang belum bisa memaksimalkan teknologi untuk menjelaskan
materi kepada siswa sehingga banyak siswa yang tidak mengerti pelajaran. Selain itu, siswa belum mampu mengelola waktu dalam menggunakan
teknologi dengan bijak dan kurangnya
kedisiplinan diri siswa dalam belajar secara daring.
Anak-anak
sekolah dasar merupakan usia yang sangat rentan terhadap dampak buruk teknologi
dan pergaulan yang tidak baik. Mereka
sering kali menerima semua informasi yang diterima secara mentah-mentah tanpa
bisa menyaring sisi positif maupun negatifnya. Zaman sekarang
dilihat dilapangan, sudah jarang sekali anak-anak kecil yang bermain permainan
tradisional. Mereka disibukkan dengan gadgetnya masing-masing. Tanpa pengawasan
orangtua, mereka bermain game online tanpa ingat waktu. Bahkan bisa saja
menonton tontonan yang belum pantas dilihat di usia mereka.
Lebih
mirisnya,
anak-anak seusia mereka sering kali menggunakan bahasa yang tidak
pantas digunakan kepada
anak seusia mereka maupun kepada yang lebih tua. Sebagai contoh kata-kata
tersebut seperti; anjing, goblok, bangsat, anjir dll. Tidak hanya itu,
kurangnya sopan santun juga sering kali ditemukan. Ketika lewat di depan orang
yang lebih tua, tidak menggunakan kata “permisi” tetapi “awas saya mau lewat”.
Lalu
bagaimana dengan tugas sekolah? Tugas sekolah diberikan untuk mengukur
kemampuan siswa mengenai sejauh mana pemahaman mereka terhadap materi yang diberikan.
Namun pada kenyataannya, tugas yang seharusnya dikerjakan oleh siswa malah
dikerjakan oleh orangtuanya. Tentu saja ini akan berpengaruh pada pola pikir siswa, sehingga ditakutkan setelah sekolah
dilakukan secara tatap muka,
siswa akan malas untuk mengerjakan tugas
bahkan lebih parah apabila sampai siswa
tidak ingin bersekolah lagi.
Namun
jika dilihat dari sisi orangtua, sekolah online tentu juga memberatkan. Siswa
yang tidak mengerti materi tentu saja tidak bisa mengerjakan soal yang
diberikan, sehingga orangtua harus
mempelajari
lagi materi tersebut untuk membantu siswa mengerjakan tugas. Ditambah dengan
kesibukan-kesibukan dengan pekerjaan lain, dan juga tidak semua orangtua bisa
memahami materi tersebut.
Kenyataannya
sekolah daring menjadi tantangan bagi guru dalam menyampaikan pelajaran, bagi siswa dalam menerima pelajaran, dan
bagi orangtua dalam mengawasi anak-anaknya. Terutama bagi orangtua, yang pada
saat sekolah daring
seperti ini 100% anak-anak berada dirumah dan berada dibawah pengawasan
orangtua sepenuhnya. Sehingga
orangtua memiliki peran penting dalam menanamkan pendidikan karakter yang baik
di rumah. Pendidikan karakter tidak hanya diajarkan disekolah
tetapi orangtua juga memiliki peran besar dalam mendidik karakter anaknya.
Pendidikan
karakter atau pendidikan akhlak, sangat penting ditanamkan sejak dini. Pendidikan
karakter akan mempengaruhi perkembangan masa depan anak. Peran orangtua yang
dapat diterapkan dalam mendidik karakter anak yaitu dengan menanamkan
nilai-nilai agama dan kebiasaan yang baik seperti 1) menanamkan nilai kebaikan
pada anak. 2) mengajarkan sopan santun 3) mengembangkan sikap mencintai
perbuatan yang baik 4) melaksanakan perbuatan yang baik.
Selain
mengajarkan kepada anak, orangtua juga harus terus memantau perkembangan anak
dalam praktik pembangunan karakter dirumah. Namun yang sering kali tidak
disadari oleh para orangtua adalah, mereka hanya menyuruh tanpa memberikan
contoh kepada anaknya. Seperti yang kita tau anak adalah peniru, sehingga
orangtua seharusnya memberikan contoh yang positif sehingga anak bisa melihat
dan mempelajari secara alami pendidikan karakter dari orangtuanya.
Pembiasaan menanamkan pendidikan karakter ini nantinya diharapkan dapat mengurangi
krisis akhlak pada anak, dimana anak akan memiliki sikap sopan santun dan menggunakan kata-kata yang baik.
Selain itu juga membentuk kedisiplinan diri dengan kewajiban dan tugas-tugasnya
sehingga meningkatkan semangat belajar dan dapat mengikuti pembelajaran dengan
lebih baik. Seperti yang diungkapkan
oleh pendapat Leidner diatas bahwa siswa yang cerdas serta
memiliki disiplin serta kepercayaan diri yang tinggi akan mampu untuk melakukan
pembelajaran dengan metode daring.
Referensi:
Pangondian, Roman Andrianto, dkk. 2019.
“Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kesuksesan Pembelajaran Daring Dalam Revolusi
Industri 4.0”. Jurnal SAINTEKS 2019.
Widianto, Edi. 2015. “Peran Orangtua Dalam
Meningkatkan Pendidikan Karakter Anak Usia Dini Dalam Keluarga”. Jurnal PG
PAUD. Vol (2) No (1).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar